Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2024

Riwayat Kuda Si Windu, Tunggangan Arya Kuningan

Gambar
 Riwayat Kuda Si Windu, Tunggangan Arya Kuningan Kuda Si Windu atau juga disebut Si Winduhaji adalah Kuda yang menurut beberapa sumber sejarah disebut sebagai kuda tunggangan Arya Kuningan, sementara dalam versi lainnya disebut sebagai Kuda tunggangannya Adipati Awangga/Ewangga.  Kuda Si Windu kini dijadikan sebagai ikon kota Kuningan, maka tidaklah mengherankan jika di Kabupaten Kuningan banyak sekali patung Kuda, tentunya patung kuda yang dimaksud adalah patung kuda Si Windu, yaitu kuda yang dahulu menjadi tunggangannya Adipati Kuningan atau Arya Kuningan. Antara Arya Kuningan dan Adipati Awangga atau Ewangga ini memang bagi sebagian orang masih membingungkan, sebab Adipati Awangga ini juga sosok orang yang dijuluki Pangeran Kuningan Adipati/Dipati Kuningan. Arya Kuningan, dalam catatan sejarah mempunyai nama asli "Suranggajaya" merupakan anak dari Jaya Raksa (Ki Gedeng Luragung), dengan demikian Arya Kuningan dan Adipati Awangga adalah dua tokoh yang berbeda. Lebih dalam m...

This natural phenomenon

Gambar
  This natural phenomenon caused the islands of Java and Sumatra to split The islands of Java and Sumatra have an interesting history of how they were once united, before a powerful natural phenomenon occurred that separated the two islands. Various opinions try to reveal behind the veil of the separation of the two islands. From these opinions, everyone agrees that the separation was caused by a very powerful natural phenomenon. Is it true that the islands of Java and Sumatra were once united? Experts agree that the islands of Java and Sumatra were once united, even with Kalimantan, before splitting and forming a plain called Greater Sunda. The separation of Java and Sumatra itself is believed to be caused by the movement of the Earth's plates. Although there are opinions that mention the eruption of Mount Krakatoa as the cause of this separation, experts believe more in tectonic factors. Pustaka Raja Purwa, written by the Javanese poet Ronggowarsito in 1869, records that th...

Acehnese Female King & Liberal Ulama

Gambar
 Acehnese Female King & Liberal Ulama  In 1641 AD, Sultan Iskandar Tsani died, he died without having a son as heir to the throne. As a result, the throne fell to his daughter Safiatuddin Syah as the female king of Aceh.  This action was clearly opposed by the Acehnese Ulama, because in Islam "Arrjalu Qowqmuna Ala Nisa", the leader of a country must be a man, because that is a dogma in the Islamic religion.   Even so, Safiatuddin Syah's teachings were defended by Nuruddin al-Raniri and Abdurrauf Singkel Mufti and the Acehnese Ulama who had liberal views. At that time, the Acehnese ulama were divided into two, some supported liberal ones and others supported orthodox ulama.  Later, the Orthodox clergy grew increasingly disgusted after his death  It turns out that Safiatuddin Syah who was appointed as the next head of state was also a woman (Sultanah Nurul Alam). After the appointment of Sultanah Nurul Alam, the rebellion finally erupted. The rebelli...

PERANG HABIS-HABISAN DI KOTA RAJA CIREBON

Gambar
Dengan suah payah, Pangeran Karangkendal berhasil menyelamatkan Dipati Kuningan, ia membawa Dipati Kuningan yang terluka melesat menghindari kerumunan tentara Pajajaran dengan kudanya. " Mundur-muduuuuuuur........!!!" begitu kata-kata terakhir yang diucapkan Pangeran Karangkendal kepada para Prajurit Cirebon.  Dari jarak yang tidak agak juh, Arya Kiban tertwa terbahak-bahak melihat Pasukan Cirebon lari tungang-langgang. Ia kemudian berkata pada para bawahannya " Tak usah di kejar, biarkan para pengecut-pengecut itu melapor kepada majikannya, kita fokus ke rencana kita, yaitu menyerbu Kota Raja Cirebon...!!" Kemenangan Pajajaran pada pertempuran di Palimanan membuat seluruh bala tentara pajajaran senang bukan main, mereka tertawa terbahak-bahak dengan puas.  Beberapa hari kemudian, Bersama para Panglima kerajaan bawahan Pajajaran lain, Arya Kiban menuju Cirebon untuk menaklukannya, serangan awal yang direncanakan Arya Kiban adalah dengan menyerang pusat pemerintahan ...

RATU KENCANA WUNGU

Gambar
 RATU KENCANA WUNGU Pemimpin Perempuan Terakhir di Majapahit Sepanjang sejarah berdirinya Kerajaan Majapahit, terdapat dua pemimpin perempuan. Salah satunya adalah Tribhuwana Tunggadewi (1328-1350), putri dari Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit. Selain Tribhuwana Tunggadewi, pada akhir kekuasaan Majapahit, terdapat satu perempuan yang kembali menempati posisi ratu, yaitu Dyah Suhita atau Ratu Kencono Wungu. Ratu Kencono Wungu pun menjadi pemimpin perempuan terakhir di Kerajaan Majapahit.  ** Asal-usul Dyah Suhita ** Menurut NJ Krom, Ratu Suhita atau Dyah Suhita merupakan putri dari Bhre Wirabhumi. Hal ini berbeda dengan Kitab Pararaton, yang menjelaskan bahwa Dyah Suhita merupakan cucu dari Bhre Wirabhumi. Pendapat lain menyatakan bahwa Dyah Suhita merupakan putri penguasa kelima Majapahit, Wikramawardhana (1389-1429), dari selirnya. Ada juga yang menyatakan bahwa Dyah Suhita merupakan anak dari Wikramawardhana dengan Kusumawardhani. Sedangkan pendapat paling kuat menjel...

Siu Ban Ci, Concubine of Prabu Brawijaya from China who changed the history of Java

Gambar
Siu Ban Ci, Concubine of Prabu Brawijaya from China who changed the history of Java Prabu Brawijaya, who is thought to be the last king of the Majapahit Kingdom, fell in love at first sight, when he looked at a beautiful girl named Siu Ban Ci. This Muslim girl of Chinese descent came to the Majapahit Palace to accompany her father, Sheikh Betong or Tan Go Hwat. Sheikh Betong, also known as Kyai Betong, came to Prabu Brawijaya at the Majapahit Palace, to ask for permission to trade in the Keling area. Sheikh Bentong was a rich merchant, who was also a great scholar.  When facing Prabu Brawijaya, Sheikh Bentong also brought various offerings, namely jade from China, silk cloth, Chinese ceramics, incense and pearls. However, it wasn't the gift that made Prabu Brawijaya interested, but he was captivated by Siu Ban Ci's beauty. Secretly, the empress of the Majapahit Kingdom, Dewi Amarawati or Princess Champa felt jealous when she saw Prabu Brawijaya starting to become enamored with ...

Keraja'an Sriwijaya

Gambar
 Menurut catatan pada prasasti Kedukan Bukit, Kerajaan Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Dikatakan bahwa pada tahun 683 M, Dapunta melaksanakan Siddhayatra , yakni sebuah Pelayaran Suci bersama 20.000 pasukan dari Minanga Tamwan menuju Jambi, kemudian Palembang Untuk memperkuat posisinya di Sumatra Selatan, Dapunta Hyang pertama-tama menyerang dan mengambil alih Kerajaan Malayu (Jambi) yang kaya akan emas dan sangat dihormati oleh banyak kedatuan pada saat itu. Hal ini mengangkat martabat Sriwijaya di wilayah Sumatra Selatan. Apakah Sriwijaya pertama itu ada di Minangkabau (Minangatamwan)? Sri Wijaya alias Minang menguasai Kerajaan Malayu (Jambi) lalu setelah itu baru menguasai Palembang dan menjadikan Palembang sebagai pusat terakhir kerajaan Sriwijaya. Tak heran lah Bahasa Minangkabau , Jambi dan Palembang memang mirip tapi beda. Bahasa Jambi dan Palembang agak berbeda karena dahulu pernah dikuasai Kerajaan Jawa. Jadi ada sedikit unsur bahasa Jawa.