MATARAM MEMBRANGUS SURABAYA
MATARAM MEMBRANGUS SURABAYA
Pada pertengahan kedua abad ke-16, Kesultanan Demak, kekuatan dominan di pulau Jawa, hancur menjadi beberapa negara merdeka. Pada pergantian abad ke-17, tiga dari negara-negara ini muncul sebagai kekuatan terkemuka salah satunya Surabaya di pesisir Jawa Timur.
Kadipaten Surabaya berpusat kira-kira di kota Surabaya sekarang, di pantai utara Jawa Timur. Kadipaten ini kaya dan kuat, dan kota pelabuhannya adalah rute perdagangan penting antara Malaka dan Kepulauan penghasil rempah-rempah (Maluku).
Luas kota ini adalah sekitar 37 kilometer (23 mi) dalam diameter, dan diperkuat oleh kanal-kanal dan meriam-meriam. Bersekutu dengan negara terdekat, Pasuruan, Kadipaten ini memperluas pengaruhnya ke seluruh bagian timur pulau Jawa di awal abad ke-17. Pada tahun 1622, Kadipaten Surabaya mengontrol daerah Gresik dan Sedayu di Jawa Timur.
Pada 1613, Hanyakrakusuma (memerintah tahun 1613 – 1645), yang bergelar Sultan Agung (sebagaimana disebutkan dalam literatur) naik takhta Mataram. Ia kemudian memulai penaklukan ke arah timur dengan sebuah serangan ke arah sisi selatan Surabaya, Tapal Kuda Timur, Malang, dan kemungkinan Pasuruan pada tahun 1614. Pasukan Surabaya menyerang tentara Mataram saat berbalik pulang, namun dikalahkan. Pada tahun 1615, Sultan Agung menaklukkan Wirasaba dan secara pribadi memimpin pasukan di sana. Surabaya tidak mengirim pasukannya untuk membantu Wirasaba, karena takut sekutu yang lainnya, Tuban, akan mengambil keuntungan dengan mengkhianati Surabaya dan menyerang dari belakang.
Penaklukan strategis dan penting wilayah Wirasaba menimbulkan ancaman yang jelas untuk Surabaya dan kerajaan-kerajaan kecil di timur dan mereka menyatakan untuk memperkuat aliansi. Mereka mengerahkan pasukan dan berbaris menuju Pajang, sebuah kota di bawah kontrol Mataram tetapi tampaknya di ambang pemberontakan.
Namun, mata-mata Mataram di Tuban menipu pasukan sekutu untuk mengambil rute yang buruk menuju Pajang. Akibatnya, tentara sekutu terisolasi di Siwalan, dekat Pajang. Tentara ini dikelilingi oleh Sultan Agung dan dikalahkan pada bulan Januari 1616.
Pada tahun 1620, target utama Mataram bergeser ke arah kota Surabaya itu sendiri. Selama tahun 1620-1625, pasukan Mataram secara berkala mengepung Surabaya.Pengepungan itu sulit karena bagian dari Surabaya (termasuk istana kadipaten) yang terletak di antara cabang-cabang Sungai Brantas, dan dalam banyak bagian-bagiannya dikelilingi oleh rawa, yang membentuk benteng alami dan menjadi risiko kesehatan bagi para pengepung.Selain itu, kota itu bertembok dan diperkuat dengan meriam.
Posisi Surabaya sebagai kota pelabuhan membuat Mataram perlu untuk memblokade Surabaya melalui laut dan darat. Keterbatasan logistik dan musim hujan tahunan menyebabkan Mataram tidak dapat mempertahankan pengepungan terus menerus.Sebaliknya, Mataram mengikuti pola menyerang saat musim kemarau, menghancurkan tanaman dan menjarah hasil panen dari daerah Surabaya dan sekitarnya.
Pada tahun 1625, di mana pasukan Mataram dipimpin oleh Tumenggung Mangun Oneng, dibantu oleh Tumenggung Yuda Prasena dan Tumenggung Ketawangan. Mataram membendung sungai Brantas, membatasi pasokan air ke kota,dan meracuni sisa pasokan air menggunakan bangkai binatang.Pengepungan di darat, dan penaklukan sekutu luar pulau Surabaya, menyebabkan kekurangan makanan dan perlengkapan lain di kota ini.Tercatat, hanya rute laut ke Makassar yang terbuka.Mengingat efek dari pengepungan dan kelaparan di kota, Jayalengkara, Adipati Surabaya, memanggil dewan bangsawan kota. Salah satu faksi, terutama termasuk Adipati Pajang yang diasingkan, mendorong untuk melanjutkan perlawanan, tapi bangsawan lain meyakinkan Jayalengkara untuk menyerah.
Jayalengkara menjadi taklukan Sultan Agung di Surabaya, dan karena usianya yang tua, meninggal tidak lama kemudian.Putranya, Pangeran Pekik diasingkan ke tempat pertapaan di makam Sunan Ngampel-Denta, dekat Surabaya.Kemudian, Pangeran Pekik tinggal di istana Mataram, menikah dengan saudara perempuan Sultan Agung, dan, menurut sejarawan Belanda H. J. de Graaf, "banyak meningkatkan kebudayaan keraton Mataram".Adipati Pajang, mantan pemimpin Mataram yang telah memberontak dan melarikan diri ke Surabaya, dieksekusi dengan ditenggelamkan.
Komentar
Posting Komentar