INVASI JAWA KE KHEMER (KAMBOJA)

 INVASI JAWA KE KHEMER (KAMBOJA)


Kronik Dinasti Song mencatat bahwa pada suatu masa, negeri Khmer sedang dilanda konflik. Negeri Chen La—cara orang Tionghoa melafalkan nama negeri Khmer—sedang terpecah menjadi dua faksi, Chen La Darat dan Chen La Laut. Konflik internal ini tentu saja turut melemahkan pertahanan kerajaan dan hal ini disadari oleh Dinasti Sailendra di Jawa.


Armada-armada Jawa yang sangat aktif lalu-lalang di Laut Tiongkok Selatan hingga Negeri Tirai Bambu melihat potensi besar di tengah kesemrawutan Khmer itu. Sejak lama, kapal-kapal Jawa telah menjadikan pelabuhan Khmer sebagai tempat singgah. Karenanya, mereka punya cukup wawasan akan kondisi kerajaan itu.


Dinasti Sailendra lantas memanfaatkan kesempatan itu dan melancarkan invasi ke negeri itu di pengujung abad ke-8 sampai dengan awal abad ke-9. Mereka dengan gemilang berhasil menghancurkan kota-kota pesisir Khmer. Begitulah kira-kira gambaran keganasan pasukan Jawa di daratan Khmer menurut studi Lawrence P. Briggs dalam “The Ancient Khmer Empire” (1951).


Invasi Dinasti Sailendra juga berdampak pada kehidupan bangsawan Khmer. Beberapa anggota keluarga Kerajaan Khmer tertangkap dan menjadi tahanan di Jawa.


Salah satu bangsawan Khmer yang pernah merasai pahitnya invasi itu adalah Pangeran Jayawarman. Riwayat hidupnya, menurut Coedes, bisa dijumpai dalam Prasasti Sdok Kok Thom yang bertarikh 1052 M. Prasasti berbahasa Khmer ini menceritakan kepulangan Jayawarman ke tanah Khmer setelah lama hidup di Bumi Jawa.


Sekembalinya di Khmer, dia mendeklarasikan diri sebagai raja Khmer dan menahbiskan diri sebagai perwujudan Dewa Siwa di Phnom (Gunung) Kulen. Menurut dugaan Coedes, Jayawarman berhasil lolos dari kurungan Raja Jawa setelah terjadi pergolakan politik di awal abad ke-9 M.



Eksistensi orang-orang Khmer di Jawa juga tercatat dalam Prasasti Wurudu Kidul yang berangka tahun 922 M. Prasasti logam beraksara Jawa Kuno itu berturut-turut dibaca dan ditelaah oleh W.F. Stutterheim, L.Ch. Damais, dan terakhir Boechari.


Dalam “Jayapattra: Sekelumit tentang Pelaksanaan Hukum dalam Masyarakat Jawa Kuno” (2012), Boechari membeberkan bahwa isi prasasti itu berkenaan dengan putusan hukum perpajakan terhadap seseorang bernama Sang Dhanadi yang dituding sebagai orang Khmer. Padahal, dia adalah orang Jawa tulen.


Raja sampai harus mengirimkan sebuah tim untuk menginvestigasi asal-usul Sang Dhanadi. Peristiwa ini jadi petunjuk bahwa orang Jawa pada periode tersebut memang cukup mengenal karakter orang Khmer.


Bahkan, sebagian orang Khmer telah menetap di Jawa pada era tersebut. Menurut M. Alnoza dalam “Orang Khmer di Jawa pada Masa Hindu-Buddha (Abad ke-9–15 M): Eksistensinya dipandang dari Teori Diaspora” (2014) menyebut penguasa Jawa Kuno menggolongkan mereka sebagai wargga kilalan alias orang asing yang dikenai pajak. Selain orang Khmer, wargga kilalan juga mencakup orang India, Tiongkok, Siam, dan Birma.


Imigran Khmer ini masih bisa pula dilacak eksistensinya di zaman pemerintahan Airlangga di abad ke-11 sampai zaman Majapahit di abad ke-14. Pertukaran budaya antara Khmer dan Jawa dalam hal ini bisa dijumpai pada peninggalan masa Majapahit di Sidoarjo, berupa Candi Pari yang bergaya Khmer.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RATU KENCANA WUNGU

PEMBERONTAKAN 7 DHARAMPUTRA DI MAJAPAHIT

RATU DEWATA (RAJA PAJAJARAN III)